Rabu, 16 Oktober 2013

KDRT, Ketegasan suami dan ketaatan istri dalam islam

Assalammualaikum wr.wb

Banyak yang salah persepsi tentang ketaatan istri kepada suami, dan ini sering jadi bahan pemojokan buat kaum muslim tekait dengan kdrt, Tulisan ini berusaha mendudukkan masalah KDRT pada tempatnya, dengan merujuk kepada Al-Qur`aan dan as-Sunnah dan penjelasan para ulama. Pada hakikatnya, pembicaraan tentang KDRT mencakup hubungan suami dengan isteri, orang tua dengan anak, dan majikan dengan dengan pekerja. Namun tulisan ini hanya akan menyoroti yang pertama saja, yaitu berkenaan hubungan antara suami dengan isteri.
semoga ulasan ini bisa bermanfaat dan menjadi sebab terbukanya pemikiran umat bahwa Allah telah membuat aturan yang diperlukan Oleh umatNYA.

Pembicaraan tentang KDRT yang terjadi di masyarakat kadang mengandung kebenaran. Tapi tidak jarang pembicaraan tersebut bermuatan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang luhur. Isu KDRT tidak jauh dari induk semangnya, yaitu isu hak asasi manusia (HAM) yang dikomentari oleh Mufti Kerajaan Saudi Arabia Syaikh 'Abdul-Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh -hafizhahullah- dengan mengatakan: "Sesungguhnya isu tentang HAM di berbagai belahan dunia pada zaman ini adalah kalimat haq urida biha bathil (kalimat yang benar, tapi dimaksudkan untuk hal yang salah)''.

CONTOH-CONTOH KDRT 
1. Menjadikan pukulan atau hajr sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan masalah rumah     tangga. 
2. Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, seperti qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek). 
3. Mendiamkan isteri di luar rumah tanpa keperluan. 
4. Memukul wajah. 
5. Memukul di luar batas kewajaran

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ

"Dan orang-orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul" [HR al-Baihaqi, 7/304] 

Salah seorang rawi hadits ini mengatakan: 

وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَيْرَهُمْ كَانَ لاَ يَضْرِبُ


"Dan Rasulullah adalah yang terbaik di antara mereka, beliau tidak memukul". [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 5/223]

Adapun KDRT dimaksudkan sebagai hal-hal yang secara syar'i dilarang dilakukan untuk keperluan tersebut.


KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM KELUARGA
Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga. Allah Ta'ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ 

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka" [an-Nisâ`/4:34]

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Alusi berkata: "Tugas mereka (para suami) adalah mengurus para isteri sebagaimana penguasa mengurus rakyat dengan perintah, larangan dan sebagainya".[1]

Sedangkan al-Qurthubi berkata: "قََوَّام adalah wazan فَعَّال –yang dipakai untuk mubalaghah (memberi makna lebih)- dari ) القيام على الشيءmengurusi sesuatu), dan menguasai sendiri (istibdad) urusannya, serta memiliki hak menentukan dalam menjaganya. Maka kedudukan suami dari isterinya ialah sampai pada batasan ini, yaitu mengurusnya, mendidiknya, berhak menahannya di rumah, melarangnya keluar, dan isteri wajib taat serta menerima perintahnya selama itu bukan maksiyat".[2]


HAK  SUAMI 
Syariat Islam memberikan suami hak yang besar atas isterinya. Sampai-sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ.

"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka" [HR Abu Dawud, 2142. At-Tirmidzi, 1192; dan Ibnu Majah 1925. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa`ul-Ghalil, 7/54]

Di antara hak suami, yaitu wajibnya isteri untuk menaatinya, termasuk ketika suami mengajak berhubungan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Jika seorang suami mengajak isterinya berhubungan dan isteri menolak, lalu suami marah kepadanya sepanjang malam, para malaikat melaknat isteri itu sampai pagi" [HR al-Bukhâri, 5193, dan Muslim, 1436]

Hadits ini menunjukkan, menolak ajakan suami untuk berhubungan tanpa udzur merupakan dosa besar.

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه

"Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa[3], sedangkan suaminya hadir, kecuali dengan ijinnya. Dan ia tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya"[4] [HR al-Bukhâri, 5195, dan Muslim, 1026]


KEWAJIBAN SUAMI
suami  selain menafkahkan sebahagian dari harta mereka" [an-Nisâ`/4:34], berkedudukan sebagai kepala rumah tangga yang memimpin lajunya bahtera rumah tangga. membimbing istri dan keluarganya meraih keridhaan Allah dengan menerapkan syariat dalam semua aspek kehidupan keluarga. Membimbing dan mengarahkan sang istri untuk berjalan lurus di atas syari'at, meluruskan kesalahan dan nusyuz (sikap melanggar kewajiban) yang mungkin terjadi padanya

Sabar Menghadapi Isteri.
Bahtera rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik jika pasangan suami isteri tidak memiliki kesabaran di antara mereka. Hal ini juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" [an-Nisâ`/4:19].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perangainya, tentu ia suka perangai yang lainnya" [Muslim, 2672]



PENTINGNYA KETEGASAN SUAMI
Sebagaimana seorang penguasa harus memiliki ketegasan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Tanpa ketegasan, bisa jadi anggota keluarga akan meremehkan aturan-aturan dan norma dalam keluarga. Kehidupan rumah tangga menjadi tidak teratur, sehingga hilanglah hikmah yang dimaksudkan dari disyariatkannya kepemimpinan dalam keluarga. Keberadaan suami dan bapak menjadi tidak ada artinya. Dengan demikian, tidak terwujudkan tanggung jawab yang diamanatkan sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ - قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ - وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Setiap dari kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggung jawab atas rakyatnya, dan akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggung jawab dalam keluarganya, dan akan ditanya tentangnya. Isteri adalah penanggung jawab di rumah suaminya, dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Pembantu bertanggung jawab atas harta tuannya dan akan ditanya tentangnya," (Ibnu Umar berkata: dan saya kira Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata): "Dan anak adalah penanggung jawab atas harta bapaknya dan akan ditanya tentangnya, dan setiap kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggung jawabnya". [HR al-Bukhâri, 893, dan Muslim, 4828] 


BENTUK KETEGASAN SUAMI
Ketegasan yang dilakukan suami dan kepala keluarga harus melihat kepada manfaat dan permasalahan yang terjadi. Juga jangan sampai berlebihan, sehingga justru berbuah kekerasan. Jadikanlah ketegasan tersebut sebagai obat dalam mencegah munculnya nusyuz dan pelanggaran syari'at dalam rumah tangga. Jangan sampai suami membiarkan istri berbuat pelanggaran agama hanya dengan dalih khawatir melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebab membiarkan istri berbuat maksiat tanpa ada teguran dan tindakan terapinya merupakan perbuatan tercela dan diancam Allah dengan siksaan yang berat. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ

"Tiga orang yang Allah tidak melihat mereka pada hari Kiamat, (yaitu) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai lelaki (tomboy) dan ad-dayûts" [HR an-Nasâ`i, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah, 2/229].

Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَ الدَّيُّوْثُ الَّذِيْ يُقِرُّ فِيْ أَهْلِهِ الْخَبَثَ .

"Dan ad-dayûts, ialah yang membiarkan kemaksiatan dalam keluarganya". [HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jami' ash-Shaghir, no. 5363]

Melarang istri dari perbuatan dosa dan maksiat termasuk ketegasan suami dan bukan termasuk KDRT, walaupun terkadang nampak mengekang kebebasan istri. Demikian juga termasuk ketegasan suami ialah menghukum istri bila melanggar.


BILAMANA SUAMI MENGHUKUM ISTERI? 
Secara faktual, sangat jarang bahkan mungkin tidak ada; sebuah keluarga berjalan tanpa adanya percikan problem atau permasalahan. Oleh karena itu, kita dituntut untuk siap menghadapi berbagai guncangan yang timbul. Tak jarang istri melakukan pelanggaran, sehingga membuat sang suami merasa tidak nyaman, gelisah atau marah. Disinilah Allah menjelaskan bolehnya suami menghukum istri, sebagaimana dalam firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Al-Alûsi berkata: "Ayat di atas dipakai untuk berdalil bahwasanya seorang suami boleh menghukum isteri dan melarangnya keluar rumah, dan bahwasanya seorang isteri wajib taat kepadanya kecuali jika (suami) memerintahnya berbuat maksiat kepada Allah".

Hukuman itu bisa berupa mendiamkannya atau memukulnya dalam batas-batas yang telah diatur Islam. Hal ini dimaksudkan agar isteri kembali kepada jalan yang benar, sebagaimana sebagian rakyat juga tidak menjadi baik kecuali jika hukuman diterapkan.

SALING MENASIHATI, DAN MEMULAI DENGAN HUKUMAN YANG PALING RINGAN

Saling menasihati sebagai perwujudan bukti cinta yang hakiki. Karenanya orang-orang terdekat ialah yang paling berhak mendapatkannya. Sebuah keluarga muslim harus membiasakan diri dengan sunnah ini.

Jika isteri salah dengan tidak taat kepada suami misalnya, suami diperintahkan untuk menasihatinya terlebih dahulu. Allah Ta'ala berfirman:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz, maka nasihatilah mereka, diamkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Nusyuz ialah meninggalkan ketaatan kepada suami atau menentangnya, baik dengan perkataan maupun perbuatan[5]. Syaikh Abdur-Rahman as-Sa'di berkata: "Hendaklah ia menghukumnya dengan hukuman yang paling ringan dahulu, dimulai dengan menasihatinya, yaitu dengan menjelaskan hukum Allah tentang ketaatan-ketaatan kepada suami, juga hukum menentangnya, menyemangatinya untuk taat, dan menakutinya dari maksiat".[6]

MENDIAMKAN ISTERI 
Jika isteri kembali kepada ketaatan dengan nasihat saja, maka itulah yang diharapkan, wal-hamdulillah. Jika tidak, suami dibolehkan untuk mendiamkan (hajr) isterinya seperti diperintahkan dalam ayat di atas. Bagi sebagian wanita, model hajr seperti ini bisa sangat tepat untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan. Mereka merasa sangat terpukul saat didiamkan suami dan tidak diajak berhubungan. Namun sebaiknya hal tersebut dilakukan di dalam rumah saja, sebagaimana disebutkan dalam hadits Hakam bin Mu'awiyah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ولا يهجُرْ إلا في البيت

"Hendaknya suami tidak mendiamkan isterinya kecuali di rumah". [HR Abu Daawud, an-Nasaa`i dan Ibnu Maajah. Dishahîhkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albâni].

Maksudnya, ialah mendiamkannya, tetapi keduanya tetap satu rumah; suami tidak meninggalkan rumah atau mengusir isterinya ke rumah lain.


Al-Bukhaari berkata:

باب هِجْرَةِ النَّبِىِّ n نِسَاءَهُ فِى غَيْرِ بُيُوتِهِنَّ. ثم روى عن أم سلمة أَنَّ النَّبِىَّ n حَلَفَ لاَ يَدْخُلُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا.

" bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendiamkan para isteri beliau di luar rumah," kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak masuk ke rumah sebagian isteri beliau selama sebulan". [Shahîh al-Bukhâri, 5202. Lihat al-Maktabah asy-Syamilah]

Suami hendaklah mempertimbangkan dengan matang bentuk dan waktu hajr yang dilakukan dengan melihat besar kecilnya kesalahan, kebutuhan dan manfaat yang diharapkan dari hajr tersebut. 

BATASAN MEMUKUL ISTERI
Ayat 34 surat an-Nisâ` di atas menjelaskan bolehnya seorang suami memukul isterinya jika diperlukan. Ummu Kultsum binti Abu Bakr ash-Shiddiq meriwayatkan:

كَانَ الرِّجَالُ نُهُوا عَنْ ضَرْبِ النِّسَاءِ ثُمَّ شَكُوهُنَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ n فَخَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ضَرْبِهِنَّ

"Awalnya para suami dilarang untuk memukul para isteri. Kemudian mereka melaporkan isteri-isteri mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau membolehkan memukul mereka".[HR al-Baihaqi, 7/304]

Maksudnya, ialah pukulan yang ringan. Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Bukhaari mengatakan, maksudnya ialah pukulan yang ghairu mubarrih (tidak melukai). 

Kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari 'Abdullah bin Zam'ah, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ

"Janganlah seorang di antara kalian mencambuk isterinya sebagaimana mencambuk budak, kemudian berhubungan dengannya di akhir hari" [Shahîh al-Bukhâri, 5204. Lihat al-Maktabah asy-Syamilah]

ولا يَضرِبِ الوَجْهَ ، وَلاَ يُقبِّحْ

"Janganlah suami memukul wajah, dan jangan mengatakan qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek)" [HR Abu Dawud, an-Nasâi dan Ibnu Majah, dishahîhkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albâni]

Ingatlah syari'at islam tidak membolehkan dan tidak mensyariatkan kecuali untuk kebaikan manusia seluruhnya, dan tidak melarang kecuali perkara yang merusak dan mengganggu manusia.

Tidak semestinya suami menjadikan setiap kesalahan istri sebagai sebab untuk melampiaskan amarah. Hendaklah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang oleh isteri beliau, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha disifati sebagai berikut:

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sama sekali tidak pernah memukul sesuatu dengan tangan beliau, tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian membalas dendam; tetapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau membalas karena Allah" [HR Muslim, 2328]

Al-Alusi rahimahullah berkata: "Dan jelas, bahwasanya menahan diri dan sabar terhadap isteri lebih baik daripada memukul mereka, kecuali jika ada alasan yang kuat".[9]

Kedua, Islam Menghormati dan Memuliakan Wanita.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam melarang KDRT, kecuali jika diperlukan untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, dan dengan batasan-batasan yang ketat. Hal seperti ini, kita istilahkan dengan ketegasan. Islam memberikan kedudukan sangat mulia kepada wanita. Banyak hal yang menunjukkan penghormatan tersebut.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan orang yang paling baik dalam umat ini ialah yang paling baik memperlakukan isterinya. 

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya; dan orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap isteri mereka" [HR at-Tirmidzi, 1195. Dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, 284]

ADAKALANYA, ISTRI BOLEH TAK PATUH JUGA

“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, berpuasa di bulan Ramadhannya, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau suka’.”[1]

Dalam konteks kewajiban taat seorang istri kepada suaminya, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – pernah bersabda,

“Sekiranya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan kuperintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.”[2]

Istri shalihah yang beriman kepada Allah dan RasulNya, tidak akan memandang kewajiban taat ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap wanita, kekerasan dalam rumah tangga, atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia, Akan tetapi, ia akan memandang bahwa kewajiban taat ini merupakan bentuk ketaatan kepada Allah yang telah menciptakanNya, menciptakan suaminya, dan menciptakan adanya hubungan suci nan mulia di antara keduanya. Ia akan mengatakan, “Kami dengar, dan kami taat”, kemudian ia akan menunaikannya dengan penuh ketulusan dari lubuk hati dan keikhlasan karena mengharap ridha Ilahi.

Sejauh manakah kewajiban taat seorang istri kepada suaminya?
Apakah ia merupakan ketaatan mutlak tanpa batas? Ketaatan yang menjadikan istri layaknya budak kepada tuannya? Ataukah ada suatu kondisi di mana ketaatan itu boleh dilanggar, atau bahkan wajib didurhakai?

Dalam hal ini, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – telah menggariskan satu kaidah agung yang harus dipahami dengan penuh keimanan oleh masing-masing pasangan. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla.”[3]

Beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – juga bersabda,

“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.”[4]

Ya, ketaatan istri kepada suami bukan hanya karena suami telah menafkahinya, melindunginya, dan memenuhi segala kebutuannya. Akan tetapi lebih dari itu, ketaatan istri kepada suami adalah merupakan bentuk ketaatan kepada Allah ta’ala. Karena Allah telah memerintahkan istri untuk taat kepada suami. Oleh karena itu, ketaatan seorang istri kepada suaminya harus disesuaikan dengan ketaatan kepada Allah ta’ala. Sebab, jika kewajiban taat dan patuh kepada suami sangatlah besar, maka kewajiban taat dan patuh kepada Allah, tentu lebih besar lagi, karena Allah-lah yang telah menciptakan ia dan suaminya, dan mengikatkan tali cinta suci di antara keduanya.

Artinya, kepatuhan istri kepada suami dibatasi pada hal-hal yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Jika sang suami memerintahkannya melakukan suatu kemaksiatan –sekecil apa pun kemaksiatan itu-, maka sebesar apa pun kecintaannya kepada sang suami, ia tidak boleh mematuhinya.

Di antara contoh perintah suami yang tidak boleh ditaati oleh istri:

Suami menyuruh istri berbuat syirik atau kufur
Jika suami memerintahkan istrinya untuk melakukan atau membantu suatu perbuatan syirik; menyuruhnya pergi ke dukun, mencari penglaris untuk dagangan, mengalungkan jimat pada anaknya, atau apa pun bentuk kesyirikan itu, maka istri tidak boleh patuh dan wajib membantah perintah suaminya, meski sang suami tidak senang, tidak ridha, murka, atau bahkan hendak menceraikannya. Bahkan dalam suatu kondisi, apabila sang suami tidak bisa dinasihati, tidak mau bertaubat dari kesyirikannya, sang istri boleh menggugat cerai dari suaminya yang musyrik. Karena keberadaannya di sisi suami, akan mengancam akidahnya. Suaminya yang musyrik itu akan dapat menjerumuskannya ke dalam kemurkaan Allah Azza wa Jalla.

“Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan kemurkaan manusia, niscaya Allah akan mencukupinya dari tuntutan manusia, dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan murka Allah, niscaya Allah akan menyerahkannya kepada manusia.”[5]

Suami menyuruh berbuat bid’ah
Di samping kesyirikan, penyakit kronis yang sudah mendarah daging pada masyarakat kita adalah banyaknya perbuatan bid’ah yang sudah dianggap sebagai sunnah. Padahal, melakukan bid’ah merupakan bentuk kedurhakaan kepada Allah ta’ala dan RasulNya – shollallohu ‘alaihi wa sallam -. Oleh karena itu, jika suami memerintahkan istri untuk melakukan amalan bid’ah atau membantu suami merayakan ritual-ritual bid’ah, maka di sini pun istri tidak boleh patuh.

Suami menyuruh membuka aurat
Mengenakan jilbab (busana syar’i wanita Muslimah) hukumnya wajib. Jika suami memerintahkan istri untuk melepas kerudungnya atau membuka aurat lainnya, dengan alasan untuk pekerjaan atau apa pun alasannya, maka istri tidak boleh mematuhinya. Jika istri mematuhinya, berarti ia telah durhaka kepada Allah ta’ala. Allah berfirman, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).


Suami minta dilayani di ranjang, sedangkan istri dalam keadaan haidh, atau suami minta jimak melalui dubur
Istri tidak diperkenankan menolak ajakan suaminya untuk berhubungan intim, jika istri menolak (tanpa alasan syar’i), maka ia akan dilaknat hingga suaminya itu ridha.[7] Namun demi suatu hikmah dan kemaslahatan, Islam telah mengatur rambu-rambu bagi suami istri dalam berhubungan intim, dan jika rambu-rambu itu dilanggar, maka mereka akan terjatuh ke dalam dosa. Di antara rambu-rambu itu adalah tidak boleh berhubungan intim ketika istri sedang haidh, oleh karena itu istri harus menolak ajakan suami untuk berhubungan intim jika ia sedang haidh. Namun dalam kondisi seperti ini keduanya boleh melakukan apa saja selain jimak. Demikian juga apabila suami mengajak istri untuk berhubungan intim melalui dubur, maka ia juga harus menolaknya. Jika tidak, maka keduanya justru akan mendapatkan murka dari Allah ta’ala. [8]

Dan demikianlah seterusnya, segala bentuk perintah suami yang mengandung kemaksiatan serta kedurhakaan kepada Allah, maka istri tidak boleh mematuhinya.

Namun yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh istri adalah,
bahwa ketika suami memerintahkannya melakukan satu kemaksiatan, bukan berarti itu menggugurkan ketaatan istri secara keseluruhan, akan tetapi kewajiban tidak taatnya itu hanya berkenaan dengan perintah yang mengandung kemaksiatan tersebut. Istri juga tidak diperkenankan untuk serta merta marah, benci, dan menghardik suami yang melakukan atau memerintahkan kemaksiatan. Akan tetapi harus tetap ada usaha untuk menasihati dan memberikan pengertian kepada suami. Dan istri yang shalihah adalah istri yang bisa bijak tatkala menghadapi kesalahan suaminya, bisa memberinya nasihat tanpa terkesan menggurui, bisa mengingatkannya tanpa membuatnya tersinggung. 

Semoga Allah mengilhami kita untuk terus memperbaiki diri. Aamiin

sumber :

http://yufid.com/
http://majalahsakinah.com/2010/01/adakalanya-istri-boleh-tak-patuh-juga/
http://almanhaj.or.id/content/2605/slash/0/membedakan-antara-ketegasan-dan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar